Kamis, 23 Juli 2009

No Name 1

Angin sore itu merasuki tubuhku. Membisukan bibirku. Melumpuhkan kedua kaki tanganku. Serta menutup pendengaranku. Seakan menjelajahi sukma. Hingga menemukan lubang hitam hati ini.
Aku hanya diam terpaku. Mengenang segala kisah pagi ini. Kepalaku terus berputar-putar. Berharap temukan seberkas cahaya. Untuk sinari kisah yang membuatku gila.
Entah apa yang kurasakan saat ini. Entah apa mimpiku saat ini. Dan entah apa yang kulakukan saat ini. Terlalu membingungkan bagiku. Hanya bisa pasrah menunggu. Melangkah tanpa pijakan. Terdiam tanpa makna.
Aku telah membaca seluruh buku harian sahabatku. Sungguh, aku melakukannya tanpa sengaja. Sahabatku caca. Juga caca yang selalu menumbuhkan dengki di hatiku. Mengalirkan iri di tetesan darahku.
Mungkin ini bukanlah hal yang luar biasa. Buku harian yang hanya berisi luapan hatinya. Namun, semua ini mencengkram batinku. Menghidupkan tanda tanya ditiap sudut hatiku. Kutemukan rahasia terdalam hidupnya. Yang semasa ini dipendamnya. Selama ini ia kubur. Selalu ia sembunyikan.
Sahabat yang selalu ada di sampingku. Telah mewarnai hidupku. Menggenggamku dikala aku terjatuh. Namun juga mengusik hidupku. Menyingkirkanku dari gemerlap pujian. Yang telah menggoreskan relief nomor dua dalam diriku. Ternyata, hidupnya tak sesempurna yang kubayangkan. Hidupnya hanya tinggal sesaat. Ia akan pergi dari hidupku. Juga hidup semua orang. Selamanya tak akan kembali. Meski dia, aku, dan siapa pun menginginkannya.
Senang? Aku terlalu jahat bila bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, ia adlah sahabatku. terlalu naif bila aku memungkiri adanya rasa dengki selama ini. Tapi bukankah ini berarti ia tak akan lagi mengusik hidupku? Aku tak akan lagi jadi nomor dua. Dan kehilangan tangan yang selalu menggenggamku. Kehilangan warna dalam hidupku.
Simfoni kegalauan mengalun di benakku. Semakin lama semakin kencang. Membuat kepalaku terasa mau pecah. Berjuta pertanyaan terus berputar. Apa yang harus kulakukan kini? Mengapa baru sekarang aku mengatahui semuanya? Berapa lama kisah ini ia tutupi? Dan bagaimana rasanya bila aku adalah caca? Akankah aku setangguh dia? Atau malah jatuh ditengah kecewa?
Aku ingin menemaninya hingga dia pergi. Dengan sepenuh ketulusan hati. Terus di sisiya yang tengah menanti maut. Dengan seluruh kesabaran hati. Menariknya keluar dari lubang putus asa. Dengan segala kelembutan hati. Namun kilasan balik iri hatiku seakan menghantuiku. Membayangi di setiap hariku. Meski telah kucoba untuk lari. Tapi selalu datang kembali. Menjadi mimpi buruk di malamku. Menjadi lubang hitam dihatiku. Dan sakit yang meradang.
Ku tekadkan dalam hatiku. Untuk menemaninya tanpa dengki. Untuk terus bersamanya. Bukan karena kepergiannya yang telah dekat. Aku mau, menyayanginya karena dialah sahabatku. Yang ada di kala aku terjatuh. Kuharap semua ini kan terjaga. Persahabatan ini. Dan segala tekadku.
Ketukan pintu memecah kesunyian sore itu. Kudengar suara yang kukenak memenggilku di balik pintu. Dengan perlahan ia mendorong pintu kamarku. Sosoknya yang menyejukan hati muncul. Tersenyum tulus.
”Tadi Caca cari kamu. Bunda pikir kamu sudah tidur. Kamu temui Caca di rumahnya. Ia mencari kamu. Caca bilang, tadi kamu langsung pulang.”jelas bunda dengan lembut.
”Oh. Iya, bun. Sara kesana sekarang. Tadi buku Sara tertinggal. Jadi pulang dulu.”jawabku pelan.
”Hati-hati menyebrang jalan.”pesannya padaku.
”Ya, bun.”anggukku.
Lagi lagi aku berbohong pada bunda. Entah sudah yang kesekian kali. Namun, pada akhirnya pun ia pasti akan mengetahui kebenarannya. Aku hanya bisa pasrah menjawab setiap pertanyaannya dan kicauan pesannya.
Kuraih buku di atas mejaku. Hanya sebagai skenario yang kuberikan pada bunda tadi. Berlari kecil menuju pintu pagar. Lalu menyebrang dengan sangat hati-hati seperti pesan bunda. Tengok kiri. Tengok kanan. Bila kendaraan telah berlalu. Barulah aku langkahkan kaki. Dan selesai. Aku telah berada di halaman rumah Caca dengan selamat.
”Ucapkan salam sebelum masuk.” gantungan di pintu rumahnya seolah bicara padaku.
“Assalamu’alaikum” sapaku.
“Caca. Caca. Caca.”kupanggil namanya berulang kali.
Suaraku berhasil memecah kesunyian di rumah itu. Pintunya mulai terbuka. Namun, bukan Caca yang kudapati disana. Hanya seorang gadis kecil yang tersenyum padaku. Aku dan gadis kecil itu saling mengenal. Sehingga tanpa malu-malu ia mempersilahkanku masuk.
“Eh, kak Sara. Mau ketemu kak Caca ya?”sapanya tanpa rasa canggung.
“Iya. Kak Cacanya ada di rumah?”tanyaku penasaran.
“Yah. Tapi kak Cacanya pergi ke rumah sakit.”jawabnya cepat.
“Oh. Ya sudah. Kak Caca sakit apa?”tanyaku lagi.
”Dea juga masih bingung. Mama, papa, dan ka Caca tidak pernah cerita. Setiap kali Dea tanya, tidak pernah di jawab.”jawabnya polos.
”Makasih ya, De. Kak Sara mau pulang dulu. Dea di rumah sama siapa?”ujarku.
”Sendirian. Dea kan berani.”balasnya percaya diri.
”Hati-hati ya, De.”kataku sambil berjalan keluar pagar.
Ucapan Dea tadi terus melekat. Membayangi langkah kakiku. Hingga aku jatuh tersungkur di tepi jalan. Malu rasanya. Untunglah jalanan sepi. Hanya aspal dan pepohonan yang menjadi saksi bisu kejadian memalukan ini. Aku pun segera bamgkit sebelum ada saksi lain. Berlari kecil menuju kamarku.
Kurebahkan tubuhku yang lelah. Bersenandung kecil melepas kepenatan. Sakit rasanya. Kali ini bukan hanya sukmaku. Tapi juga tubuhku. Ternyata kakiku tergores saat tadi terjatuh. Merah dan sedikit berdarah. Sebelum bunda melihatnya. Harus segera kututupi. bingung mencari obat merah dan plester. Seandainya tadi aku megenakan celana yang lebih panjang. Pasti kakiku tak akan tergores. Namun, waktu tak dapat kuputar kembali. Berdetik terus tanpa kenal lelah.
Terbayang olehku. Andai waktu dapat kuputar kembali. Akan kubuang semua salah selama ini. Bibit dengki yang kini meradang. Setiap langkah kaki yang salah. Dan kebohongan yang kukarang. Kini, tinggal sesal yang tersisa. Hanya malu yang kuraih. Sungguh kisah ini membuatku gila. Entah kapan akan berakhir. Dan akan kubawa seperti apa. Aku hanya bisa duduk. Bukan lagi merenung, tapi berharap. Semua akan baik-baik saja.
Perlahan terlelap. Ditengah dinginnya dunia. Menerjang gelap malam. Yang senyap. Dan terus diam tanpa lelah.

....................................................................................
....................................................................................
....................................................................................
....................................................................................

The School Assatination 1

Aku bisa meraskan darah merah segar yang mengalir dari lubang-lubang tubuhku yang tertenbus peluru yang Bill tembakkan kearah kami secara asal-asalan. Aku mendengar Tibs, meraung-raung kesakitan akibat peluru yang tertanam di bagian kanan perutnya. Aku tidak biasa melihat Tibs dalam keadaan seperti ini., dengan segala raungan kesakitan yang ia keluarkan. Karena biasanya justru dialah yang menangani anak-anak yang meraung-raung kesakitan akibat terkilir saat pelajaran olah raga maupun akibat terjatuh di tangga sekolah yang terkenal licin dan beranak tangga tinggi, di ruang kesehatan sekolah. Tapi kali ini dia sama sekali tidak terlihat seperti seorang perawat suka rela sekolah. Aku juga mendengar suara-suara anak lain yang menangis, baik karena ketakutan maupun karena terluka.Tapi aku tidak bisa melihat apa-apa. Pengelihatanku memburam akibat air mata ketakutan dan kesakitan yang dari tadi terus kucucurkan, saat aku menyadari bahawa kini aku tengah berada di tengah teror yang telah “memerahkan sekolahku” sejak seharian penuh. Meskipun begitu, aku masih bisa melihat Eric Rutherford yang terkulai tepat di depan mataku, menangis dan terus menerus berbisik, “Mom... Mom...Mom...” Saat itu aku tertegun, dan sangat terkejut tentang bagaimana seorang anak seperti Eric bisa terlihat begitu lemah dalam keadaan seperti ini. Aku memang tidak pernah satu kelas dengan Eric. Namun, bukan rahasia lagi kalau Eric adalah seorang anak yang keras kepala dan sering terlibat dalam berbagai masalah di sekolah Ini. Bahkan tahun pertama kami di sekolah ini, dia sudah bolak-balik keluar-masuk kantor Mr. Ryan Smith, kepala sekolah kami. Masalahnya beragam. Mulai dari mencontek di kelas, merokok di kamar mandi sekolah, memasang nanny cam di ruang ganti anak perempuan, sampai yang kuketahui, terakhir dia sempat dipanggil karena dicurigai membawa serbuk coccain ke sekolah. Namun, untuk malah yang terakhir Eric terbukti tidak bersalah, Bahkan saat diadakan pengetesan urin yang diadakan di sekolah kami oleh kepolisian setempat, dalam rangka memerangi masuknya narkoba ke lingkungan sekolah, Eric terbukti bersih dari segala macam jenis obat-obtan. Aku sendiri pada saat itu yakin kalau dia tidak menggunakannya, sebab dari perilakunya sehari-hari memang tidak menujukkan perilaku seorang pemakai obat-obatan. Dia terlihat sangat sehat, dan tidak pernah terlihat teler atau apaun itu. Aku saat itu justru mencurigai Douglas Ford, kapten football sekolah The King. Karena menurut apa yang aku dapatkan dari penyuluhan-penyuluhan yan kudapatkan di SMP-ku di Jakarta dulu, soal seorang pemakai yang sering terlihat lelah, pandapngan mata yang sayu, dan hidung dan matayang berair, semua hal itu hanya sanat tergambar jelas pada Douglas. Dan sesuai dengan tebakanku, dia tidak masuk pada hari pemeriksaan tersebut, sehingga aku tidak dapat membuktikan teoriku mengenainya.

Aku kembali menangis ketika tiba-tiba terbayang olehku wajah khawatir ibu, yang kemungkinan besar diikuti derai air mata, ketika mendengar bahwa anak satu-satunya sedang terjebak di tengah penculikan berdarah yang terjadi di sekolahnya, McKinley High School. Dan tak dapat terbayangkan olehku apa jadinya, jika Ibu mengetahui kenyataan bahwa satu-satunya orang yang menahan kami di dalam jebakan sekolah ini, adalah seorang anak laiki-laki ingusan yang 14 Desember nanti baru akan berumur tujuh belas tahun. Padahal tadi pagi segalanya terasa sangat normal. Tidak ana keanehan atau perasaan apapun yang muncul ketika aku akan berangkat ke sekolah. Bahkan, Ibu mengantarku sampai di gerbang sekolah. Ya, aku tahu apa yang kalian pikir mengenaiku, Seorang anak SMA manja yang setiap pagi di antar ke sekolah oleh Ibunya. Tapi Ibu hanya khawatir padaku. Aku hanya tinggal berdua dengannya. Ayah dan Ibu bercerai ketika aku berumur 11 tahun. Saat itu kami masih menetap di Jakarta. Ketika kemudian terjadi kejadian pembajakan pesawat yang menambrak tempat kerja kakak ibu di WTC, pada tanggal 11 September 2001. Ayahku adalah orang Indonesia sedangkan Ibuku adalah seorang Afro-Amerika.. Setelah kejadian itu, keluarga ibuku memandang ayah yang merupakan sorang muslim dengan padangan merendahkan, dan tidak lama kemudian memerintahkan ibuku untu kembali ke Amerika. Oleh karena itu mereka bercerai. Menurut ayahku,hal di antara mereka akan sangat sulit diperabaiki, apalagi jika permasalahan di antara mereka telah membawa nama agama, dan suku-bangsa. Aku sendiri tidak dapat mengerti jalan pikiran keluarga ibu, padahal selama ini mereka tidak pernah memperlihatkan sikap memusuhi ayah. Dan jika mereka memang benar-benar membenci ayah, kenapa tidak seajak dulu saja mereka menentang pernikahan ayah dan ibu. Oh...Aku benci dengan terorisme! Aku tidak peduli dengan siapa mereka, dari suku apa mereka, atau apa agama mereka, tapi mereka tidak seharusnya datang dan menggaggu kehidupan keluarga kami. Maksudku, kami bahkan tidak saling mengenal! Kini, karena mereka, aku adalah satu-satunya orang yang bisa ibu andalkan sejak kami kembali ke sini. Dan aku merasa sangat menderita ketika harus membayangkan perasaan yang Ibu rasakan saat ini.

Tiba-tiba terdengar suara letusan pistol dan erangan seorang anak yang disertai suara debuman tubuh yang roboh. Aku tidak dapat mendengar suara ernagan anak itu lagi. Dan akupun menyadari kalau Bill baru saja menembak mati anak yang tidak bersalah itu.

“Ya , Tuhan... Selamatkanlah kami dari kekejaman setan yang sedang merasuki Bill saat ii, Apapun itu, apapun yang harus kami lalui terlebih dahulu, bawalah kami semua keluar dari neraka ini,” doaku dalam hati. Aku benar-benar tidak dapat membuka mataku saat ini. Dan menurutku, ada dua kemungkinan yang menyebabkannya. Kemungkinan pertama, matakau terlalu lelah dan membengkak akibat kerja kelenjar air mataku yang terlalu berat sejak tadi pagi. Kemungkinan kedua, aku hanya terlalu takut untuk melihat tubuh-tubuh yang terluka dan tidak bernyawa dari para siswa McKinley yang setiap hari berpapasan denganku baik di korodor maupun di kantin sekolah. Aku memang tidak mengenal mereka, tapi aku tahu pasti akan terasa sakit jika harus kehilangan wajah-wajah itu di sekolah nanti. Atau mungkin, aku memang terlalu pengecut untuk mengahadapi kedua kemungkinan tersebut.

Aku mendengar suara langkah kaki menggema diatas genangan berliter-liter darah di aula ini, yang dapat kupastikan adalah langkah kaki Bill, yang merupakan satu-satunya orang yang tidak terluka di ruangan ini. Suara itu terdengar terus mendekat ke arahku, sebelum akhirnya berhenti. Aku memang tidak dapat melihatnya saat itu, tapi aku rasa dia terjongkok sementar dan mengangkat tubuh seseorang, yang kemudian baru kuketahui adalah tubuh Daniel Howard yang sudah tidak bernyawa. Dia membisikkan sesuatu ke arah tubuh tersebut, suaranya terlalu pelan untuk dapat kudengarkan. Kemudian dia tiba-tiba berteriak marah.

“Karena aku adalah Hitchcock! I’M THE HITHCOCK, BABY!!! Woohoo!!! Hahahaaha!!!!”. Kemudian ia kembali terdiam untuk beberapa detik, dan kembali membisikkan sesuatu lagi. Suara napasnya terdengar terengah-engah.

Aku yakin, seluruh hal ini pasti telah memakan habis seluruh tenaganya. Dan mungkin hal ini akan berakhir tidal lama lagi. Yah,… hanya tinggal menunggu beberapa menit lagi, atau mungkin detik, sebelum dia menyadari kesalahnnya, dan membebaskan kami semua. Namun aku langsung tersentak ketika kemudian aku mendengar Bill membanting tubuh yang dari tadi terus dia tahan tersebut ke arah tembok di belakangku, dan meludahinya. Dug... Jantungku berhenti.

“Belum bisa berakhir,” kataku dalam hati. Aku terus menerus berdoa dalam hati. Aku tidak dapat lagi merasakan tubuhku. Aku merasa takut pada Bill, pada orang yang mungkin bahkan tidak mengenalku. Tapi itu bukan masalahnya. Karena, selama aku mengenalnya dan aku masih berada dalam situasi ini, aku benar-benar dalam maslah besar.

Kemudian setelah diselangi beberapa detik momen perenunganku yang damai, Bill kembali tertawa keras seperti orang yang sudah gila. Seakan dia baru saja melakukan sesuatu yang menyenangkan dan dia tertawa karena merasa puas setelah dia berhasil mendapatkan apa yang Ia harapkan. Tapi, aku tahu kemudian kalau hal ini adalah benar, aku merasakan ada suatu kesedihan, suatu perasaan kehilangan yang tersisa dan tergamabar jelas dalam (tangisan) yang terselip dalam tawa liciknya. Aku menebak, hal tersebut pasti diakibatkan oleh perasaan bersalah yang dia rasakan terhadap Daniel.

Dari apa yang kudengar dari sahabat-sahbat baruku di sekolah ini, Ann dan Marry, mereka dulunya adalah sepasang sahabat yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, mereka juga selalu bersekolah di tempat yang sama semenjak taman kanak-kanak. Tentu awalnya itu hanyalah suatu kebetulan semata. Namun seiring berjalannya waktu mereka menjadi sepasang sahabat yang terlihat begitu serupa dalam segala hal. Dulu mereka sering menghabiskan waktu luang mereka untuk menonton film-film horror favourite mereka. Biasanya mereka menjadwalkan acara menginap bersama, setap malam minggu atau saat salah satu dari mereka berulang tahun, hanya untuk memenuhi hobi mereka yang satu ini.

Film horror sepanjang masa mereka adalah sekuel horror Jepang, “Ju-On”, dan sekuel thriller horror “Final Destination”. Tokoh favorit mereka pada sekuel “Final Destination”, adalah salah seorang tokoh utama dari sekuel pertama “Final Destination, yang bernama Billy Hitchcock. Mereka sangat menyukai tokoh berandal ini, karena menurut mereka dia adalah tokoh yang paling beruntung, di bandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya yang selamat dari maut..Bayangkan saja . Dia selamat dari kereta api yang sedang melaju kencang, yang tinggal berjarak sekitar satu meteran darinya, hanya karena tarikan temannya yang membawanya menjauh dari kereta tersebut. Daniel bahkan memanggil Bill dengan sebutan Hitchcock karena Bill dan tokoh utama tersebut memiliki inisial nama yang sama. Oleh karena itu Daniel menggamnti nama Bill, dari Bill Harrison, menjadi Bill Hitchcock. Tapi saat ini, panggilan spesial tersebut justru terkesan seperti panggilan yang bermakna sampah. Apalagi Douglas dan Mike selau mengejeknya dengan sebutan tersebut, setiap kali mereka merasa ingin “mengerjai” Bill.

Selain hobi menonton film horror mereka yang sama, mereka juga memiliki ketertarikan yang sama dalam bidang ilmu pengetahuan alam, dan sama-sama memiliki cita-sita menjadi seorang scientist sehingga dapat kemudian menemukan obat untuk penyakit kanker yang menggerogoti tubuh ibu Bill. Sayangnya ibu Bill sudah lebih dulu meninggal ketika mereka berdua duduk di bangku kelas tiga SMP. Dan Ironisnya, seakan ibu Bill adalah satu-satunya jembatan persahabatan mereka, setelah mereka masuk SMA mereka tidak pernah lagi terlihat bersama. Tidak pernah ada yang tahu mengapa, sampai tiga bulan setelah kejadian ini, seorang polisi memublikasikan buku harian Tamara Kent. Buku harian inilah yang kemudian membongkar latar belakang dan motif Bill dalam melakukan peculikan ini. Kami kemudian menyebutbya sebagai “Buku Hitam”. Beberapa orang menentang pemublikasian buku harian tersebut karena dianggap melanggarprivasi seseorang. Tapi menurutku, mengapa tidak? Jika memang buku ini bisa dijadikan saksi kunci tindak criminal yang telah memakan lebih dari seratus siswa siswi McKinley Highschool dan jua menyebabkan penurunan citra sekolah ini ,yang kemudian menyebabkan kebangkrutan setahun setelah kejadian ini, aku justru mendukung pemublikasiannya. Coba kita piker untuk ukuran jangka panjang. Jika buku harian ini dipublikasikan, akan banyak orang yang sadar tentang masalah-masalah besar yang terkadang dilihat terlalu kecil oleh orang-orang dewasa, yang padahal justru dapat mengakibatkan suatu bencana besar seperti yang telah Bill sebabkan, dengan apaun alasannya.

Suasana makin terasa lembab, apalagi setelah pendingin udara dimatikan. Terlalu banyak orang terluka dan berdarah di ruangan ini. Terlalu banyak daranh yang tercecer dan menguap di ruangan ini. Udara menjadi semakin tercium menjjikan ketika aku menarik napas. Satu-satunya yang dapa kucium adalah bau amis darah dan bau asam kerngat kami yang bercampur menjadi satu. Aku mulai merasa kehilangan kendali terhadap diriku sendiri. Dan hal terakhir yang dapat kulihat sebelum kemudian tidak sadarkan diri adalah wajah kejam Bill, yang terlihat sangat gila dan kejam. Diaedang menjilati percikan-percikan dari kami yang terlukis di seluruh tembok sekolah kami. Kemudian dia menyentuh darah yang tercecer di lantai dengan telunkunya, dan menuliskan suatu inisial “B&D” di dinding di depanku. Aku benar-benar tidak mengerti apa maksud dari inisial itu, saat ini. Namun nanti aku akan sadar bahwa itu adalah singkatan dari, Bill & Daniel. Dan menyadari bahwa Bill bukanlah orang yang kejam, seperti apa yang kini kupikirkan. Apa yang dia inginkan hanyalah sahabat lamanya, yang seakan menghilang dari peredaran sejak dia masuk ke McKinley Highscool.

Namun saat ini yang bisa kukatakan hanyalah,

“Oh, wallpapper baru! Hadiah dari Bill Harrison…Oh, bukan, Bill Hitchcock!” serukuku pada diri sendiri. Dan sedetik kemudian yang terlihat hanyalah hitam, hitam, dan hitam yang terus memekat.


Rabu, 15 Juli 2009

Loves doesnt always takes two ..


They say loves takes two ..
But ,, its me all alone this time ..
figuring everything out by myself ..
keeping faith for the one I love ..
who never loves me back ..



ITS JUST A SHIT HAPPENS