Senin, 03 Agustus 2009

THE SCHOOL ASSASINATIO 2


Bruk…

Kami berempat yang saat itu sedang menaruh barang-baranfg kami di loker koridor sekolah di dekat tangga yang menuju ke aula pameran, segera menengok kea rah munculnya suara gaduh tersebut. Dan betapa kagetnya Aku, Ann, Marry, dan Erin, saat menemukan Bill yang jatuh dan tersungkur di bawah kaki Douglas, dengan buku-bukunya yang terhambur dengan berantakan. Jujur saja, aku sangat ingin menggerakkan pantatku dan berjalan kea rah Bill untuk membantunya berdiri dan meneriakkan kata-kata kotor akibat kesesakkan di hatiku yang penuh rasa kesal terhadap sikap sewenang-wenang yang selalu mereka tunjukkan terhadap Bill dan anak-anak tidak berdaya lainnya. Aku tahu, kami semua yang ada di koridor saat itu merasakan hal yang sama denganku.

Namun kami tidak dapat melakukan apa-apa kepada Douglas dan anak-anak manja itu. TIdak satupun dari kami yang ada dalam kerumunan terseburt, yang mau berurusan dengan mereka. Kami tahu aturan main kototor yang mereka terapkan. Sekali kamu berusrusan dengan salah satu dari mereka, maka kamu tidak memiliki jalan keluar untuk selamat dari penindasan seperti yang mereka lakukan terhadap Bill.

“Hey, Hitchcock!” seru Douglas sambil mencondongkan badan ke arah Bill malang yang sedang memunguti bukunya yang berserakan di lantai.

“Pernah dengar soal kacamata? Kayaknya kamu benar-benar membutuhkannya, Idiot!!!” ejeknya, sambil kemudian bangkit dan tertawa puas mersama Michael. Yang kemudian disambut dengan suatu toss penuh kemenangan olehnya.

“Sudah hentikan!” seru Tamara tepat di depan muka Douglas.

“Aku tidak mau mendapat masalah lagi hanya karena kamu mengahajar seorang anak lemah di sekolah!” teriak Tamara sambil menorong Douglas.

“ Oke! Apapun buat kamu, Say!” katanya dengan muka yang menjijikan kepada Tamara, sambil kemudian merangkulnya dan mencoba untuk mencium kening Tamara. Namun sayangnya Tamara menolaknya habis-habisan. Dia justru terlihat marah danmelepaskan rangkulan Douglas, dan berjalan dengan langkah kai yang panjang meninggalkan Douglas dan Mikey, bersama Sasha Earlington.

Melihat kejadian itu, rasa penasaranku pada Tamara Kent yang misterius itu semakin bertamabah. Aku, kami semua, sering dibuat kesal oleh sikapnya yang sangat tidak menunjukkan kepeduliannya terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. Namun satu hal yang pasti mengenainya, aku merasakan adanya suatu kebaikkan yang terpendam dalam dirinya. Suatu hal ynag terpendam terlalu lama, sehingga orang-orangpun akan sulit untuk mempercayainya.

Dia memiliki kesan “tidak berdosa”, yang membuatku justru terkadang mersa kasihan melihatnya berada dalam kelompok pergaulan yang kejam itu. Setiap kali aku melihat Douglas merangkulnya, atau memaksa untuk menciumnya, ada pandangan kosong yang dipenuhi dengan rasa ketakutan, yang terpancar jelas daei matanya. Ada suatu rahasia perih yang ia sembunyikan, sendiriri. Dan aku menebak, perasaan tersebut mungkin telah ia pendam bertahun-tahun lamanya. Dan apapun itu, jelas bukanlah suatu perasaan yang akan sanggup dipegang sediri oleh satu individu.

“hey, tunggu, bitch!”seru Douglas sambil mengejar Tamara.

“Lain kali, mungkin kamu harus mencoba menggunakan mata kakimu. Bisa jadi, berfungsi lebih baik dari matamu yang sekarang!” Ejek Michael sambil tertawa merendahkan. Dia bahkan menendang buku Biologi Bill, sebelum dia meninggalkannya, di ikuti Daniel, yang mengekor di belakang Michael, sambil membawa setumpuk buku-buku tebal, yang mungkin baru Ia pinjam dari perpustakaan sekolah..

Ah, aku benat-benar tidak dapat berpikir apapun tentang Daniel. Aku selalu berpikir positif, dan mencoba untuk menganggap bahwa perubahan yang Daniel tunjukkan terhadap Bill, hanyalah suatu perintah dari Douglas saja, untuk membuat kehidupan Bill semakin terasa seperti neraka. Tapi aku benar-benar tidak habis pikir, mengapa ada orang yang bisa terus bersembunyi di balik rasa sakit hati yang tergambar jelas dimatanya.

Suatu hari, saat aku dan tiga orang temanku yang lain baru saja pulang dari sekolah, kami melihat suatu kejadaian yang tidak jauh berbeda dengan apa yang saat ini aku saksikan. Saat itu kami secara tidak sengaja melihat Douglas, Michael, Tamara, Sasha, dan Daniel, di taman dekat sekolah. Aku bisa melihat jelas wajah beringas Douglas dan Michael yang sedang menghajar Bill. Wajah Bill yang sudah dipenuhi baret-baret luka dan lebam, terlihat sangat pucat. Dia menunduk dengan tatapan kosong ke atas tanah kering yang ada di hadapannya. Sesaat ia mengangkat wajahnya seakan terus mencoba untuk dapat menangkap setidaknya seraut wajah prihatin dari Dan. Namun Daniel justru memalingkan wajahnya, dan bergabung bersama Tamara dan Sasha yang dari tadi duduk di bangku taman tersebut sambil teru menghisapi puntung kehidupan mereka yang masih tersisa. Daniel memang tidak iku merokok besama mereka, karena yang kutahu Ia malah alergi terhadap asap nikotin dan semacamnya.,. Tapi di juga tidak melakukan apa-apa di bangku itu. Tidak, bahkan untuk sekilas melihat khawatir Bill.

Hal ini jelas membuat Bill merasa sangat terpukul. Dia tahu dia telah kehilangan sahabat karibnya, tapi mungkin baru saat itu ia menyadari bahwa sebenarnaya tidak ada hal lain yang hilang dari dirinya, selain seorang penghianat persahabatan. Diapun langsung terbatuk-batuk, mungkin akibat tersedak darah yang terus mengucur dari gigi-ginya yang terkena hajar, dan kemabali menatap dalam ke arah tanah. Aku bisa meliahat air mata kepasrahan yang Ia keluarkan saat itu.

“ Aku bosan!” seru Douglas, sambil menendang badan Bill yang masih tersngkur di tanah. “Kita pulang saja!”

“Ya! Aku juga sudah cukup bersenang-senang dengan banci yang satu ini,” jawab Mike sambil melihat kejam ke arah Bill dan menggendong tas ranselnya yang dri tadi tergeletak di tanah, sambil mengikuti di belakang Douglas.

“Ayo, Tam! Udah mau gelap,” ajak Sasha pada Tamara, sambil menginjak sisa puntung rokoknya di tanah. Tamarapun berdiri sambil membuang puntung rokoknya yang baru saja ia hisap setengahnya, begitu saja, di bawah bangku taman yang tadi mereka duduki.

“Ok!”

“Oh, Yah, Dan! Tolong bawain ranselku, yah.” Kata Sasha sambil menyerahkan ransel serut Kipling-nya yang berwarna merah muda kepada Daniel, yang sudah terlihat kerepotan karena membawa barang-barang bawaan Douglas. Karena tidak mampu menolaknya, danielpun menggendung tas Sasha di depan dadanya, dan meninggalkan Daniel yang sedang terluka itu. Pada saat itu aku merasa ‘gatal’ dan ingin membantu Bill. Namun, keinginanku tersebut tertahan ketika temanku, Marry, memperingatkanku untuk tidak mencampuri masalah mereka. Karena tidak ada seoranganakpun di sekolah yang mau berurusan dengan Douglas maupun Michael, jika mereka tidak mau berakhir seperti Bill.

Setelah anak-anak manja lainnya berjalan cepat di depannya, aku tidak tahu apakah aku sedang berhalusinasi atau tidak, tetapi aku dapat melihat jelas dengan kedua mataku. Daniel Howard sempat membalikkan badannya untuk melihat ke arah Bill, dengan raut muka yang penuh kecemasan. Yah, meskipun itu hanya berlangsung dalam hitungan detik, hali tersebut cukup membuktikan kalau ia masih peduli terhadap Bill.

Sama aeperti kali ini. Setelah berada kira-kira sekitar lima sampai enam meter menjauhi Bill, Daniel kembali memperlihatkanku wajah yang sama seperti yang pernah ia perlihatkan padaku di taman. Tatapan hangat seorang teman yang meridukan temanya yang hilang setelah sekian lama. Namun seperti biasa, Ia akan kembali membalikkan tubuhnya sebelum Douglas dan teman-temanya yang lain memperhatikannya. Meskipun mungkin hanya aku seorang yang memperhatikannya di koridor saat itu, setidaknya aku bisa dijadikan saksi mata kepeduliannya tersebut.

Aku tahu Ia lelah akan semua kebencian yang terus mengelilinginya. Dia pasti juga merasa berhasalah karena tidak dapat melakukan apapun untuk membantu sahabat lamanya itu agar terhindar dari penindasan yang terus menerus dilancarkan oleh sahabat barunya. Aku sendiri, dan mungkin, semua murid sekolah ini yang terpaksa harus melihat semua drama ini, sangat merasa lelah dan bersalah, karena hanya bisa memerhatikan penindasan tersebut dari jauh tanpa bisa melakukan apapun lagi untuk dapat membantu Bill keluar dari masalah ini. Oleh sebab itu, tidak dapat terbayang lagi bagaimana perasaan yang berkecamuk di dalam hati Dan saat ini. Seakan-akan dia harus menentukan suatu pilihan untuk berpihak ke arah mana, di saat dia sama sekali tidak memiliki pilihan.

............................................................................................

Di tengah lamunanku tentang persahabatan rumit di antara Daniel dan Bill, tiba-tiba seseorang menepukku dari belakang sehingga membuatku tersentak kaget. Tapi saat aku menemukan Marry,sahabatku, yang melakukan hal tersebut, perasaan kesalku langsung berubah menjadai perasaan gembira. Tidak hanya pada Marry, entah kenapa, aku selalu merasa gembira setiap kali aku perada di dekat para sahabatku.

“Ada apa sih?” tanyaku pada Erin penasaran. Tidak biasanya Erin mengagetiku seperti itu. Di antara sahabat-sahabatju yang lain, Erin adalah anak yang paling berisik. Oleh karena itu, jika dia tiba-tiba sampai mengendap-ngendap segala untuk menceritakan sesuatu, pasti suatu hal ini bukanlah suatu rahasia biasa. Biasa jadi malah ini adalah suatu rahasia yang harus kami jaga dengan seluruh jiwa raga kami.

“Tebak apa yang baru saja aku lihat!”

Aku menggelengkan kepalaku kecil, sambil mengankat bahuku kebingungan.

“Tadi,saat aku sedang akan membuang sampah ke tempatsampah di belakang sekolah, aku melihat Tamara sedang berbicaraserius dengan Bill!”

Mendengar apa yang Erin ceritakan, aku lansung tersedak udara yang sedang kuhirup. Aku lansung membelalakkan mataku kearah mata E, seakan memeberi kode untuk memastikan apakanh apa yang Erin lihat bukan merupakan suatu kesalahan. Tapi dengan pandangan yang meyakinkan, Erin membalas tatapanku sambil menganggukan kepalanya.

“Memang apa saja yang mereka bicarakan?”

“Entahlah,” jawab Erin tidak Yakin. “Yang pasti hal tersebut ada hubungannya dengan Daniel. Sepertinya ada suatu hal yang tamara sembunyikan dari Douglas dan yang lainnya. Maksudku, sejak kapan dia jadi sering berbicara dengan Bill? Bahkan menurutmu sendiri, Tamara hampir sama seperi yang lainnya, hanya saja Ia tidak pernah langsung mengasari Bill.”

“Iya, sih...” jawabku bingung. “Tapi apakah kamu justru tidak curiga soal Tamara yang tidak pernah ikut-ikutan mengerjai Bill.”

“Tapi, Ia hanya berbicara pada Bill. Bukankah itu berarti hak ini tidak ada hubungannya dengn Bill?”

“Iya juga, yah...”

“kalau begitu bisa jadi mereka adalah sepasang kekasih?” sambungku.

“Yang benar saja?”

“Memang sih terdengar sedikit aneh, tapi bukankah segala kemungkinan terbuka sangat lebar saat ini? Apalagi setelah apa yang kau lihat tadi, bukan?”

“Ya. Tapi tetap saja...”

Pembicaraab kamipun langsung terhenti ketika Mrs. Smith alias Mrs Samantha Good, guru B. Inggris kami masuk kedalam kelas dan langdung membagikan kami selembar kertas kosng. Mrs. Samantha, atau dulu kami sering memanggilnya, adalah istri kedua dari Mr. Ryan Smith, kepala sekolah kami. Dia adalah guru favoritku sejak pertama kali masuk sekolah ini. Bahkan jika dibandingkan dengan kepala seklah kami, ynag merupakan suami Mrs. Samantha, yang saat ini kami panggil Mrs. Smith, saya dengan yakin akan mengatakan bahwa beliau memiliki karisma yang jauh lebih besar dari suaminya. Beliau juga seorang guru yang tegas, di balik kesabaran dan kepasrahannya.

Setelah kami semua mendapatkan kertas kosong tersebut, Mrs. Smith lansung naik ke atas mimbar tempat duduk para guru, yang telah penuh dengan corat-coret tip-x hasil keisengan anak-anak kelasku.

“Baiklah. Hari ini saya akan mengambil nilai ulangan dari bab yang baru saja kita pelajari kemarin, tentang Simple Sentence.”

Suasana dari kelas langsung gaduh karena tidak setuju akan ulangan dadakan yang Mrs. Smith adakan hari ini. Yah, dari beribi-ribu kebaikannya kepada kami. Ternyata seorang guru memang hanyalah guru.